Kamis, 13 Juni 2019

Rokok Memisahkan Keharmonisan Keluarga


Rokok Memisahkan Keharmonisan Keluarga


Dodi Saputra, S.Pd.
Guru MAN Insan Cendekia Padang Pariaman




Keharmonisan keluarga menjadi dambaan manusia. Suasana ini dibutuhkan bukan pasangan suami istri, melainkan anak dan keluarga besar pada umumnya. Tentu keharmonisan itu tercipta dari sikap dan kebiasaan dari masing-masing individu. Dengan kebiasaan hidup bersih dan sehat, sebuah keluarga bisa memperoleh kebahagiaan. Sebab kesehatan merupakan faktor utama dalam sebuah keluarga. Jika ada satu saja anggota keluarga sakit, maka kebahagiaan itu sudah tidak lengkap lagi.
Terkait kesehatan, salah satu pengaruh terberat saat ini adalah bahaya rokok. Bisa jadi seorang ayah adalah perokok aktif. Tetapi tidak tertutup kemungkinan seorang ibu juga perokok aktif. Dalam hal ini bisa pula keduanya adalah perokok aktif. Pada kondisi ini, anak berada pada dilema yang membingungkan. Dalam kepalanya akan timbul pertanyaan yang mendasar tentang kebiasaaan buruk tersebut. Terlebih bagi anak laki-laki. Anak laki-laki selain berteman dengan teman yang perokok, ia juga dipengaruhi oleh orang tua perokok. Nah, ketika dalam hati sanubari seorang anak mengatakan tidak merokok, maka ini akan membentang sekat keharmonisan antara anak dan orang tua.
Pada kondisi lain, ketika perokok itu adalah seorang ayah. Sementara ibu dan anak bukanlah perokok. Maka keberadaan ayah yang sedang merokok itu menimbulkan kebencian pada sia ayah yang menebar asap rokok di dalam rumah. Sehingga, momen yang seharusnya bisa digunakan untuk berumpul atau bercengkerama bersama, malah tidak terwujud. Hingga pada akhirnya si ayah harus berada di luar rumah untuk menghabiskan sebatang rokok. Begitulah rokok mampu memisahkan keharmonisan keluarga.
Keluarga sehat sudah semestinya mengetahui tentang menjauhi asap rokok. Perlu digarisbawahi, bahwa hal yang dijauhi bukanlah perokok, tetapi rokoknya. Jadi jangan disalahkan apabila orang itu sedang merokok pun maka akan dijauhi pula oleh orang-orang yang tidak merokok. Sebab tidaklah baik, jika seseorang bertemu, lantas seorang yang lain menanggung derita tersebab asab rokok. Perokok bisa jadi tidak menyadari hal ini, tetapi mulai saat ini sudah harus mengetahui ternyata keakraban bisa berkurang karena adanya rokok di tengah mereka.
 Penulis mengutip informasi dari www.viva.co.id. Di situs tersebut, Dr Deffy dari Meetdoctor menuturkan bahwa senantiasa menghirup asap rokok secara pasif dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terserang kanker paru-paru sebanyak 25 persen. Asap rokok yang dihirup berdampak buruk pada dinding pembuluh darah dan membuat darah menjadi lebih gampang untuk menggumpal. Merokok secara pasif juga dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Semua ini membuat perokok pasif lebih berisiko terkena stroke dan serangan jantung. Dengan terganggunya pembuluh yang mengalirkan darah ke jantung, kinerja jantung pun berisiko terganggu dan bahkan berujung pada gagal jantung. Pada ibu hamil, maka akan meningkatkan risiko keguguran, bayi lahir dengan berat badan yang rendah. Sedangkan pada anak-anak akan menimbulkan asma, pneumonia atau pun infeksi saluran pernapasan, kematian mendadak pada anak, meningitis, dan sebagainya.
Bukan sebatas merusak keharmonisan keluarga, rokok juga bisa merusak hubungan persahabatan menjadi berjarak. Selanjutnya, rokok selain berbahasa bagi tubuh, tentu saja telah merenggut kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Betapa keluarga sangat kehilangan jika salah satu anggota keluarga meninggal dunia akibat kecanduan rokok. Sehingga harus mati sia-sia karena kebiasaan buruk sekelas rokok.
Penulis bermaksud menggerakkan hati pembaca-baik perokok maupun bukan-untuk menyadari hal ini agar keharmonisan sebuah keluarga tetap terjaga hingga akhir hayat. Lagi pula seorang anak juga akan mengikuti keteladanaan orang tuanya dalam bersikap dan kebiasaan hariannya. Jangankan tidak mengikuti orang tua yang perokok, menghindari temannya yang perokok saja sudah susah setengah mati. Maka dalam hal ini anak dituntut dibekali ilmu pengetahuan tentang kesehatan dan pentingnya menjaga keharmonisan keluarga.* (Pasaman, 2019)

Minggu, 17 Maret 2019

Fenomena Guru Berprestasi


Fenomena Guru Berprestasi
Mantagi Dodi Saputra

            Alhamdulillah, penulis berhasil meraih juara pertama guru SD berprestasi tingkat Kota Padang tahap pertama. Namun, karena ada syarat tertentu, penulis tak diperbolehkan untuk maju ke tingkat provinsi. Meskipun demikian, penulis ingin sedikit berbagi perihal perjalanan menjadi guru berprestasi. Walaupun masih terbilang muda, penulis memberanikan diri untuk mencoba dan terus berkarya menjadi guru yang lebih baik untuk negeri ini.
Ya, guru masa kini dituntut berprestasi. Prestasi ini tentu sesuai dengan keahlian masing-masing. Ada yang menjadi pemenang atau sering menjuarai perlombaan tertentu. Ada pula yang telah berkiprah di lingkungan masyarakat. Semuanya itu dibuktikan dengan bukti fisik berupa sertifikat atau piagam penghargaan lainnya. Tetapi, cukupkah dengan itu guru dikatakan berprestasi?  
            Prestasi demikian hanya berlaku untuk diri sendiri. Nah, prestasi saat ini lebih dari itu. Prestasi ini diseleksi oleh instansi resmi yang membidangi semua guru-guru tersebut. Ringkasnya, guru bukan mudah diberikan gelar sebagai guru berprestasi, melainkan harus menjalani berbagai tes yang amat panjang. Mulanya, mereka dipilih oleh sekolah, lalu diseleksi ke tingkat kecamatan, lanjut ke tingkat kota, provinsi, dan berakhir hingga ke tingkat nasional. Kelihatannya mudah, tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan.
            Guru yang telah lulus seleksi dari sekolah, akan mengikuti rangkaian tes yang menjemukan dan melelahkan. Tes itu antara lain; tes tulis, tes wawancara seputar pendidikan, tes menulis dan berbahasa Inggris, tes kemampuan komputer, penilaian portofolio, dan presentasi. Singkat cerita, ketika telah sampai di tingkat kota, guru akan bertemu dengan guru-guru dari perwakilan kecamatan. Di sinilah persaingan semakin ketat. Mereka merupakan lima besar guru terbaik yang tentunya punya kelebihan dibanding guru berprestasi lainnya.
            Semangat bersaing pun semakin kuat, ketika melihat guru lain membawa sekoper bahan-bahan dan perlengkapan presentasi. Namun, di antara `senjata` mereka itu dinilai tak begitu kuat, karena hanya sebatas perangkat pembelajaran, surat-surat keterangan atau keputusan, dan beberapa hasil penelitian di kelas. Sementara ada satu bahan yang besar poinnya, tetapi sedikit bahkan nyaris tidak ada pada mereka. Bahan itu adalah karya tulis (baca: buku).
            Hal itu membuktikan bahwa guru berprestasi bukanlah sebatas guru yang berhasil mengajar dengan perangkat pembelajarannya, namun guru berprestasi itu adalah guru yang dapat memberikan inovasi dan kreasi dalam pembelajaran. Guru pun dituntut untuk mengembangkan potensi diri dalam hal menghasilkan karya tulis. Inilah yang banyak dikeluhkan dari banyak guru berprestasi. Mereka kesulitan dalam membuat karya tulis.
            Sebenarnya ada niat untuk membuat karya tulis, tetapi media atau wadahnya sangat terbatas. Untuk guru yang berada di kota atau berduit, mungkin bisa saja mengikuti semacam pelatihan menulis buku. Tetapi bagi guru yang tidak memiliki uang yang cukup, hal ini menjadi masalah. Baru-baru ini pun ada pelatihan menulis bagi guru. Tapi itu, sayangnya berbayar terbilang mahal. Apalagi tempatnya juga mewah dan berkelas.
Alangkah baiknya jika para pemangku jabatan instansi pemerintah memberikan pelatihan gratis bagi para guru. Prediksi penulis, pelatihan semacam ini dimaksudkan dapat menjadi semacam angin segar bagi mereka. Sehingga jika ada program yang menginginkan setiap guru bisa memiliki karya tulis berupa buku, maka itu bukanlah mimpi belaka. Tentu kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembimbingan penulisan karya tulis yang terstruktur dan terukur.
Perihal dana pelatihan tersebut, tentu orang pintar dan para penguasa di daerah ini sudah lebih cerdas dari penulis untuk mencari solusinya. Kalau berbicara tentang kualitas guru, pemerintah sudah harus membuka mata lebih lebar pada dunia pendidikan saat ini. Guru bukan hanya mengandalkan masa atau lama mengajar, tapi juga harus punya inovasi. Sehingga mereka pun tidak akan kehabisan cara untuk menghadapi peserta didik, dengan berbagai tingkahnya.
Bagaimana pun juga, keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran, salah satunya sangat ditentukan oleh guru. Ketika guru berprestasi ini sudah diberikan kecakapan di bidang pendidikan, ia akan terus berusaha memberikan bimbingan dan pengajaran yang berkualitas. Inilah yang menjadi keresahan dalam obrolan guru-guru beberapa waktu lalu. Semoga pemerintah terkait membaca dan mendengarkan suara hati guru-guru ini dalam menghasilkan karya tulis. Pelan tapi pasti, perlahan dan terus berjalan. Jika memang serius pada program satu guru, satu buku, niscaya dapat dengan mudah terwujud. Agaknya, penulis cukupkan terlebih dahulu. Di tulisan selanjutnya, penulis akan melanjutkan bagaimana seleksi guru berprestasi tersebut bisa lebih objektif, netral, dan komprehensif. Insya Allah.* Padang, 2019


Dodi Saputra, Guru Berprestasi Kota Padang asal SDIT Dar El Iman Padang.